Rabu, November 24, 2010

Bismillaahirrohmaanirrohiim ...
Hadits ini sempat menjadi pembicaraan di salah satu milis yang saya ikuti. Sejak saat itu saya semakin penasaran ingin tahu syarahnya (sebenarnya sudah lama penasarannya).
Teman-teman ingin tahu juga?
Berikut ini saya kutipkan bunyi haditsnya dari CD Hadits 9 Imam:

(BUKHARI - 4790) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abdurrahman dan Ali bin Hujr keduanya berkata, Telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari Abdullah bin Urwah dari Urwah dari Aisyah ia berkata; Sebelas wanita duduk-duduk kemudian berjanji sesama mereka untuk tidak mnyembunyikan sedikitpun seluk-beluk suami mereka. Wanita pertama berkata, "Suamiku adalah daging unta yang kurus, berada di puncak gunung yang sulit, tidak mudah didaki, dan tidak gemuk sehingga mudah diangkat." Wanita kedua berkata, "Suamiku? Aku tidak akan menyebarkan seluk-beluk tentang dirinya. Aku takut tidak bisa meninggalkannya jika aku menyebutnya, aku menyebutkan kebaikan dan keburukannya sekaligus." Wanita ketiga berkata, "Suamiku jangkung. Jika aku berkata, ia menceraikanku. Jika aku diam, ia menggantungkan (urusanku)." Wanita keempat berkata, "Suamiku sedang, seperti cuaca Gunung Tihamah. Ia tidak panas, dingin, menakutkan, dan membosankan." Wanita kelima berucap, "Suamiku? Jika ia masuk, ia seperti anak singa. Jika ia keluar, ia seperti singa. Ia tidak pernah bertanya apa yang ia ketahui." Wanita keenam mengemukakan, "Suamiku? Jika makan, ia mencampur semua jenis makanan. Jika minum, ia menghabiskan seluruh air. Jika tidur, ia berselimut. Ia tidak memasukkan telapak tangan untuk mengetahui kesedihan (tidak penyayang kepadanya)." Wanita ketujuh berkata, "Suamiku tidak tahu kemaslahatan dirinya dan bodoh. Baginya, semua penyakit adalah obat. Ia membelah kepalamu atau memecahkanmu, atau melakukan kedua-duanya terhadapmu." Wanita kedelapan berkata, "Suamiku halus sehalus kelinci dan harum seharum zarrab (tanaman yang harum)." Wanita kesembilan mengatakan, "Suamiku tinggi tiangnya, panjang bantuannya, besar asapnya, dan rumahnya dengan api." Wanita kesepuluh mengemukakan, "Suamiku adalah majikan dan tidak ada majikan sebaik dia. Ia mempunyai unta yang banyak sekali dan dekat pengembalaannya. Jika unta-unta tersebut mendengar suara rebana sebagai tanda kedatangan tamu, unta-unta tersebut merasa yakin bahwa mereka akan disembelih." Wanita kesebelas berkata, "Suamiku adalah Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah Abu Zar'in? Ia menggerak-gerakkan perhiasan kedua telingaku, memenuhi lemak kedua lenganku, dan membahagiakanku hingga jiwaku berbahagia. Ia mendapatiku di tempat pemilik kambing kecil di gunung kemudian membawaku ke pemilik kuda yang banyak, unta yang banyak, penggiling makanan, dan pengusir burung. Di tempatnya, aku berkata dan tidak menjelek-jelekkan, tidur hingga pagi, dan minum hingga puas. Ibu Abu Zar'in. siapakah ibu Abu Zar'in? Tempat makanannya besar dan rumahnya luas. Anak laki-laki Abu Zar'in. Siapakah anak laki-laki Abu Zar'in? Tempat tidurnya seperti pedang yang diambil dari sarungnya (ringan) dan ia dibuat kenyang dengan lengan kambing yang berusia empat bulan. Anak perempuan Abu Zar'in. Siapakah anak perempuan Abu Zar'in? Ia patuh kepada ayah ibunya dan membuat marah tetanggganya. Budak wanita Abu Zar'in. Siapakah budak wanita Abu Zar'in? Ia tidak merusak pembicaraan kami, tidak memindahkan warisan kami, dan tidak memenuhi rumah kami dengan kotoran seperti rumput. Abu Zar'in keluar sedang tempat-tempat susu digerak-gerakkan dengan keras, kemudian ia bertemu dengan seorang wanita bersama dua anaknya seperti anak singa yang sedang bermain di bawah pinggangnya dengan dua buah delima, kemudian Abu Zar'in menceraikanku dan menikahi wanita tersebut. Sesudahnya aku menikah dengan seorang laki-laki yang mulia, mengendarai dengan cepat, mengambil tombak, mengembalikan hewan ternak kepadaku, dan memberiku bau harum semuanya sepasang. Ia berkata, 'Makanlah hai Ummu Zar'in dan berilah makan keluargamu.' Jika aku kumpulkan semua yang diberikan suami keduaku tersebut, tidak mencapai bejana terkecil Abu Zar'in. Aisyah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Terhadapmu aku seperti Abu Zar'in terhadap Ummu Zar'in." berkata Abu Abdullah; berkata Sa'id bin Salamah dari Hisyam dan janganlah engkau penuhi rumah kami dengan sisa-sisa rumah (sampah). Abu Abdullah mengatakan, sebagian mengatakan "Maka aku minum hingga puas.". Dan ini lebih sahih.

Cerita sikap Abu Zar’ terhadap Ummu Zar’ sudah demikian melegenda. Ia hanya mimpi dari seorang Aisyah, tapi Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam lalu mengabadikannya melalui sabda beliau, bahwa beliau juga bersikap terhadap Aisyah seperti layaknya sikap Abu Zar’ terhadap Ummu Zar’.

Sesungguhnya, kisah Abu Zar’ tidaklah dituturkan dalam riwayat sebagai cerita kosong belaka. Ia kisah yang mengundang Nabi Shollallohu ‘alayhi wa sallam untuk menyatakan diri sebagai Abu Zar bagi aisyah, istrinya, dan juga bagi istri-istri beliau yang lain, para Ummahatul Mukminin yang mulia –rodhiyallohu ‘anhunna-.

Bila ditelaah dan dicermati baik-baik, kisah Abu Zar’ memuat sebuah pelajaran penting yang meliputi beragam hikmah dan pelajaran. Yakni, Abu Zar’ adalah sosok suami yang penuh pesona. Atas keberadaannya sebagai suami, wajar saja istrinya mampu berbangga diri di hadapan teman-temannya, di hadapan sepuluh wanita dengan pengalaman bersuami yang unik-unik dan menggelitik. Segala hal yang mengundang pesona itu, akan coba kita simak satu demi satu, secara ringkas saja:

1. PRIBADI YANG DEKAT DENGAN ISTRI

Sikap Abu Zar’ itu menggambarkan keakraban dan keintiman yang begitu memikat antara seoarng suami dengan istrinya. Seorang istri amat menyukai suami yang “dekat” dengannya. Definisi “dekat” di sini boleh ditafsirkan harfiyyah, tapi juga boleh ditafsirkan secara abstrak. Keduanya memang dibutuhkan untuk sebuah keakraban dan keintiman antara pasutri.

“Ada empat faktor pemicu kebahagiaan: Istri yang sholihah, rumah yang megah (lebar, meskipun sedehana), kendaraan yang nyaman, dan hendaknya rezekinya didapatkan di negeri sendiri.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban IX : 240]

“Perjalanan adalah kepingan dari siksa Alloh, karena seseorang terhalangi menikmati makanan, minuman, dan waktu istirahat tidurnya. Bila seseorang sudah terpenuhi kebutuhannya lewat perjalanan tersebut, hendaknya ia lekas pulang menemui keluarganya.” [Diriwayatkan oleh Bukhori II : 639, oleh Muslim III : 1526, Ibnu Majah II : 962, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya VI : 425, dan Imam Malik dalam al-Muwaththo’ II : 980]

Abu Zar’ tidak pernah membangun tembok yang memisahkan dirinya dari istrinya. Ia tidak menempatkan “kewibawaan” di posisi yang terlalu terhormat, sehingga ia bergaul dengan istrinya secara ala kadarnya.

Kedekatan yang saya maksud di sini lebih kepada kedekatan kejiwaan, bukan kedekatan fisik belaka. Bila hati sudah dekat dan saling terkait satu dengan yang lain, maka “tembok Berlin” sekalipun tak akan mampu menghalangi keduanya untuk tetap bersatu.

Di masa sekarang ini, kita bisa mengimplementasikan rasa dekat kita kepada istri, dengan saling mengirim SMS saat sedang berjauhan, saling mengucapkan “I LOVE YOU”, “UHIBBUKA (KI) FILLAH” [Aku mencintaimu karena Alloh] saat bertemu atau akan berpisah dalam waktu sementara, saling mencoba mengenali kebiasaan dan kesukaan pasangan, dan berbagai cara lain yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Rasa dekat” itu akan memberikan motivasi bagi suami dan istri untuk saling menumbuhkan kepercayaan pada pasangannya, untuk selalu mengingatkan pasangan agar tak berlaku keliru meski sedang jauh dari pasangannya, juga menghadirkan pasangan dalam hati, meski mereka tak sedang berada di satu tempat.

Rasa dekat itu bisa melahirkan kepedulian satu terhadap yang lain, dan inilah salah satu pilar kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga.

Rasa dekat itu juga mampu membangun imajinasi suami untuk menetapkan langkah-langkah positif bagi perbaikan di masa mendatang.

Rasa dekat itu juga dibutuhkan untuk membangun kepercayaan pada diri anak-anak agar mereka yakin mereka berasal dari keluarga bahagia, bahwa mereka adalah anak-anak yang berbahagia, bahwa bersama keluarga mereka bisa berbuat yang terbaik bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin di mana pun mereka berada.

2. PRIBADI YANG MEMULIAKAN ISTRI

Kisah Abu Zar’ mengajarkan hal penting yang kerap diabaikan oleh banyak suami: memuliakan istri.

Lihatlah, bagaimana pemuliaan beliau terhadap istrinya yang ia perlakukan bak seorang putri, bahkan lebih dari itu. Ia bisa mengerjakan apa yang sesungguhnya biasa dilakukan justru oleh kalangan istri, yaitu menyediakan makanan dan minuman di pagi hari misalnya.

Hal-hal sederhana ia lakukan, tapi bagi istrinya itu adalah karunia besar. Istri mana yang tidak merasa begitu berbahagia mendapati suaminya melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan seorang suami? Ia bisa berbangga di hadapan siapapun atas sikap suaminya itu.

Kalau seorang istri mengatakan, “Suami saya sangat rajin bekerja mencari nafkah, siang dan malam,” orang akan berujar, “Ia suami yang bertanggung jawab.” Tidak lebih dari itu.

Tapi bila ia mengatakan, “Suami saya sering menyediakan sarapan buat kami sekeluarga, padahal di siang hari ia bekerja keras. Di malam hari, ia sering mengganti popok anaknya, mengantar mereka ke toilet” dan sejenis itu, maka tanggapan yang muncul, “Duh… Duh, beruntung sekali engkau menjadi istrinya!”

Apa yang diceritakan dalam hadits Anas bin Malik menceritakan, “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shofiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shofiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.”

Anas menceritakan bahwa tetangga Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam –seorang Persia—pintar sekali membuat masakan gulai. Pada suatu hari dia membuatkan masakan gulai yang enak untuk Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam. Lalu dia datang menemui Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam untuk mengundang makan beliau.

Beliau bertanya, “Bagaimana dengan ini (maksudnya Aisyah)?”

Orang itu menjawab, “Tidak.”

Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam berkata, “(Kalau begitu) aku juga tidak mau.”

Orang itu kembali mengundang Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam dan beliau kembali bertanya, “Bagaimana dengan ini?”

Orang itu menjawab, “Tidak.”

Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam kembali berkata, “Kalau begitu aku juga tidak mau.”

Kemudian orang itu kembali mengundang Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam dan beliau kembali bertanya, “Bagaimana dengan ini?”

Pada yang ketiga kalinya ini orang Persia itu mengatakan, “Ya.”

Akhirnya mereka bangkit dan segera berangkat ke rumah laki-laki itu.”

3. PRIBADI YANG MEMILIKI KEBERSAMAAN DENGAN ISTRI

Abu Zar’ seringkali hadir di saat-saat indah bersama istrinya. Bahkan di saat-saat ketika kebanyakan suami bekerja mencari uang. Perlukah seperti itu? Sangat diperlukan.

Oleh sebab itu, seorang suami yang baik senantiasa berpikir bagaimana membangun usaha yang bersifat mandiri, yang menyebabkan ia memiliki waktu luang banyak bersama keluarga.

Bekerja sebagai karyawan yang mengisi setiap hari dengan bekerja di kantor, dan hanya menyediakan waktu libur setahun sekali bersama anak-anak dan istri, atau 1 hari dalam sepekan, yakni hari Ahad, yang sering pula dijadikan waktu beristirahat total di rumah, mungkin tidak usah dijadikan pilihan, kecuali dalam kondisi terdesak.

Tahukah kita, betapa sibuknya Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam? Ya, di tengah lilitan berbagai persoalan umat, belum lagi mengatur masyarakat Islam, dan masih diselingi dengan peperangan sepanjang hidupnya, beliau jelas sosok pemimpin yang sangat sibuk. Dengan murni kesibukan yang produktif, yang sangat terpuji. Namun, di sela-sela berbagai kesibukan itu, beliau toh tetap akrab dengan istri-istrinya. Beliau tetap terlihat dekat dengan setiap istrinya. Kedekatan itu terkadang hanya beliau isyaratkan dengan perbuatan-perbuatan sederhana saja.

Shofiyyah, istri Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam menceritakan bahwa dia datang mengunjungi Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam ketika beliau sedang melakukan i’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Romadhon. Dia berbicara dekat beliau beberapa saat, kemudian berdiri untuk kembali. Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam juga ikut berdiri untuk mengantarkannya.

Dalam satu riwayat dikatakan, “Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam berada di masjid. Di samping beliau ada para istri beliau. Kemudian mereka pergi (pulang). Lantas Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam berkata kepada Shofiyyah binti Huyay, ‘Jangan terburu-buru, agar aku dapat pulang bersamamu’.”

Jadi, berjalan pun bisa juga bisa menjadi salah satu ungkapan kedekatan suami dengan istrinya.

Hal yang sama juga pernah dilakukan Aisyah, bagaimana ia menyisir rambut Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam yang sengaja didongakkan melalui jendela dari dalam masjid, saat beliau sedang ber-i’tikaf.

Ada sebuah riwayat dari Jabir tentang haji Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam yang akan menggambarkan betapa para Sahabat dahulu juga terbiasa membawa istri-istri mereka, dalam perjalanan berat, termasuk melaksanakan haji. Hal itu dituturkan oleh Jabir sendiri, “Lalu Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam datang pada pagi hari tanggal empat Dzulhijjah. Maka setelah kami datang, Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam memerintahkan kami ber-tahallul. Kemudian sampailah kepada beliau bahwa kami mengatakan, ‘Ketika antara kami dan hari Arofah hanya tinggal lima hari. Beliau memerintahkan kami ber-tahallul untuk mencampuri istri-istri kami.’ Maka, datanglah kami ke Arofah sementara kemaluan kami meneteskan madzi.” [Shohih Bukhori: Kitab Al-I’tishom, bab nahyun Nabiyi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam ‘alat-Tahrim, juz 17, hal 109. Shohih Muslim: Kitab al-Hajj, bab Bayanu Wujuhil Ihrom wa Annahu Yajuzu Ifrodul Halji wat-Tamattu’ wal-Qiron, juz 4, hal 37].

Banyak riwayat sejenis yang menceritakan bagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam dan para sahabat merasa senang selama mungkin berada bersama istri-istri mereka. Tentu bukan dalam konteks hingga mengabaikan dakwah misalnya, atau membuat suami teledor dan lupa mencari nafkah. Bukan, sama sekali bukan.

Ini hanyalah untuk menunjukkan bahwa mereka sangat memerhatikan bagaimana mencari waktu untuk bisa banyak bersama dengan istri, entah dengan pulang ke rumah, atau bepergian mengajak istri dan anak-anak, adalah realitas yang tak terbantahkan.

Kebersamaan adalah salah satu hal terindah dan paling romantis, dalam kehidupan pasutri. Perselingkuhan banyak terjadi, saat kebersamaan di antara suami istri sudah mulai terjajah, lalu menjadi fenomena yang dianaktirikan.

Suami sibuk bekerja dan berbisnis, istri sibuk keluar rumah, shopping, ke salon, atau ikut berbisnis menjadi kompetitor suaminya, akhirnya sering menciptakan ruang yang memisahkan mereka berdua. Sehingga mereka jarang sekali bersama-sama menikmati keindahan hidup, apalagi untuk belajar dan mendalami agama.

Kebersamaan adalah makna sebuah keharmonisan pada salah satu sisinya yang paling menonjol. Kita mengenal istilah hidup bersama, dan betapa banyak di antara kita yang hidup bersama istri namun tak merasakan kebersamaan.

Cobalah sesekali melakukan perjalanan tanpa disertai istri untuk membuat sebuah perenungan; betapa tak nyamannya hidup sendirian, betapa indahnya kebersamaan bersama istri. Saat pulang, bangunlah suasana kebersamaan itu, seperti orang yang membangun suasana pantaidi teras rumahnya, atau suasana pegunungan di kebun belakang rumahnya.

Imajinasi positif dalam membumikan nilai-nilai kebersamaan itu penting sekali. Maka bermain-main dengan istri pun menjadi salah satu hal penting yang perlu terus dibiasakan agar makna kebersamaan itu makin maujud dalam kehidupan pasutri.

Salah satu pesona Abu Zar’ adalah kemampuannya menjadikan istri sebagai sebagai teman terdekat, untuk hal-hal yang akan membangun kebahagiaan bagi mereka, di dunia dan di akhirat.

Hadits Abu Zar’ mengajarkan kepada kita bahwa banyak hal yang dalam kehidupan nyata ini yang dibangun melalui mimpi. Karena hadits ini muncul diawali dengan kisah mimpi Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha yang diceritakan kepada Nabi Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam. Betapa sesungguhnya hanya terjadi dalam mimpi Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha, dan bahwa kesebelas wanita itu hanya wujud manusia di alam tidur semata. Namun, dengan cerdas Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam membumikan mimpi itu danmenjelaskan bahawa apa yang terjadi dalam mimpi Aisyah itu dapat diwujudkan ke alam nyata, melalui sabda beliau: “Aku bagimu layaknya Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in.”

Diketik ulang oleh Iwana Nashaya dalamhttp://iwananashaya.multiply.com/


Jazakillah ummi Khansaa 4 artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar