Sabtu, Januari 29, 2011

Makna Pernikahan

Nikah ditinjau dari sisi bahasa: bisa bermakna akad nikah dan bisa juga bermakna menggauli istri,
berkata Abu ‘Ali al Qaali: “Bangsa Arab telah membedakan dengan perbedaan yang tipis, yang dengan perbedaan itu akan dapat mengetahui kedudukan akad (pernikahan) terhadap (kehalalan) bersetubuh, sehingga apabila mereka mengatakan: dia menikahi fulanah atau binti fulan, maka yang dimaksudkan adalah akad nikah, (yakni dia melakukan akad nikah dengan fulanah atau bintu fulan, pent) namun jika mereka mengatakan: dia menikahi istrinya atau pasangannya maka mereka tidak akan memaksudkan melainkan jima’ (bersetubuh) dan al Wath’u (menggauli)?.


Sedangkan makna nikah menurut istilah syariat:
Terjalinnya akad antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dengan tujuan adanya saling mengambil kenikmatan satu sama lainnya serta membina sebuah rumah tangga yang shalihah dan masyarakat yang baik?.

Dan dari sini kita tarik kesimpulan bahwa sesungguhnya dengan akad nikah tersebut tidak hanya semata-mata bertujuan untuk mengambil kesenangan. Bahkan dengan akad tersebut adanya suatu makna yang lain yaitu “membina rumah tangga yang shalihah dan masyarakat yang baik?.
Kendati demikian terkadang salah satu dari kedua tujuan tersebut lebih dominan atas yang lainnya karena beberapa tujuan tertentu sesuai dengan kondisi seseorang tersebut.


Hukum Pernikahan


Pernikahan jika ditinjau dari dzatnya ialah merupakan sebuah ritual yang disyariatkan dan sangat ditekankan (untuk dijalani) pada hak setiap orang yang memiliki syahwat dan mampu untuk melangsungkannya. Dan pernikahan adalah salah satu sunnah dari sunah-sunnahnya para rasul, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan?. (QS. Ar Ra’du : 38)

Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun sungguh telah menikah dan menyatakan:
Sesungguhnya aku menikahi para wanita dan barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku?. (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itulah berkata para ulama: “Sesungguhnya pernikahan yang diiringi dengan syahwat adalah lebih utama dari ibadah-ibadah nawafil (sunnah)".
Hal ini dikarenakan akan menghasilkan banyak kebaikan serta dampak positif yang sebagiannya akan dijelaskan nanti insyaAllah.

Terkadang pernikahan bisa menjadi wajib pada sebagian keadaan sebagaimana halnya manakala seseorang laki-laki memiliki syahwat yang kuat dan dikhawatirkan dirinya terjatuh pada keharaman jika dia tidak menikah, maka disaat seperti ini wajib atasnya untuk menikah demi menjaga kehormatan dirinya dan menahan dirinya dari keharaman, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang telah memiliki kemampuan (ba-ah) maka hendaklah dia menikah karena sesungguhnya menikah lebih menjaga kemaluan dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan maka hendaknya dia berpuasa karena berpuasa merupakan tameng baginya (HR. Bukhari Muslim)



Syarat Penikahan

Termasuk dari keindahan aturan Islam dan kelembutan hukum-hukumnya yaitu menjadikan bagi semua akad adanya syarat dan aturan-aturan didalamnya, agar mudah untuk ditunaikan dan dijalankan secara berkelanjutan. Setiap akad memiliki beberapa syarat yang tidak akan sempurna akad tersebut melainkan dengan adanya syarat-syarat tersebut. Ini merupakan bukti yang jelas atas keadilan syariat dan kesempurnaannya dan bahwasanya syariat bersumber dari sisi Dzat yang Maha Bijak lagi Maha Mengetahui, Dia mengetahui apa yang baik bagi makhlukNya dan mensyariatkan bagi mereka apa yang menjadikan baik bagi agama dan dunia mereka. Sehingga tidaklah menjadikan hampa segala perkara tanpa adanya batasan-batasan baginya (segala perkara).

Diantara akad-akad tersebut adalah akad nikah, oleh karena itu akad nikah memiliki beberapa syarat yang akan kami sebutkan, diantara yang paling pentingnya ialah sebagai berikut :

1) Adanya keridhaan calon suami-istri.

Sehingga tidak sah pemaksaan terhadap pihak lelaki atas suatu pernikahan dengan wanita yang tidak dia kehendaki dan tidak sah pula pemaksaan terhadap pihak wanita atas suatu pernikahan dengan lelaki yang tidak dia kehendaki. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewariskan seorang wanita dengan jalan paksa …..? (QS. An Nisaa : 19)

Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seorang janda dinikahi hingga diminta pengakuannya dan tidaklah dinikahi seorang gadis hingga diminta ijinnya, para shahabat bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana pengabulannya? Beliau berkata : jika dia diam? (HR. Bukhari Muslim)

Maka Nabi melarang untuk menikahi seorang wanita dengan tanpa keridhaannya, sama saja apakah dia seorang gadis maupun seorang janda, hanya saja wanita janda harus menyatakan keridhaannya dengan ucapan, adapun yang gadis maka cukup baginya dengan sikap diamnya seorang gadis (biasanya) malu untuk menyetakan persetujuannya secara terbuka.
Apabila pihak wanita menolak untuk dinikahi maka tidak boleh bagi seorangpun untuk memaksanya sekalipun dia bapaknya, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

(dan gadis yang memintakan ijin kepadanya adalah bapaknya) dan (tidak mengapa) bagi sang bapak jika dia tidak menikahkan anak gadisnya dalam kondisi demikian karena anak gadisnyalah yang menolak, akan tetapi wajib atasnya untuk menjaga dan melindungi anak gadisnya. Apabila ada dua lelaki yang datang meminangnya dan anak gadisnya menyatakan, aku ingin menikah dengan orang ini akan tetapi walinya menyatakan: menikahlah dengan yang lain, maka wanita tersebut boleh menikah dengan dengan lelaki yang dia kehendaki, apabila lelaki tersebut memang sekufu (sederajat) dengannya. Namun apabila lelaki tersebut tidak sekufu maka walinya berhak untuk menolak pernikahannya dengan lelaki tersebut dan tidak berdosa atas walinya dalam keadaan demikian.

2) Adanya wali.

Maka tidak sah sebuah pernikahan tanpa adanya wali, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali? (HR. Abu Daud)

Sehingga manakala seorang wanita menikahi dirinya sendiri maka nikahnya batal, sama saja apakah telah dilangsungkannya akad dengan dirinya atau diwakilkan di dalam akadnya itu.

Dan wali adalah seorang yang telah mencapai usia baligh, dia berakal dan lurus dari kalangan keluarganya seperti: bapak, kakek dari garis bapak, anak lelakinya, cucu lelaki dari anak lelakinya dan terus ke bawah keluarganya, saudara lelaki sekandung (seayah seibu), saudara tiri dari bapak/paman dari pihak bapak dan ibu, paman dari pihak bapak beserta anak-anak lelakinya yang terdekat kemudian yang terdekat berikutnya. Dan tidak ada perwalian bagi saudara-saudara dari pihak ibu dan tidak pula bagi anak-anak mereka, tidak pula bagi kakek dari pihak ibu serta paman-paman dari pihak ibu karena mereka bukanlah termasuk kerabat keluarga.
Jika demikian wajibnya di dalam sebuah pernikahan harus adanya seorang wali maka wajib atas sang wali untuk memilihkan calon suami yang sekufu dengannya apabila peminangnya lebih dari satu orang, akan tetapi jika yang meminangnya hanya satu orang saja dan dia adalah lelaki yang sekufu dan diridhai oleh pihak wanita maka wajib atas walinya untuk menikahkannya dengan lelaki tersebut.

Disini kita berhenti sejenak untuk mengetahui seberapa besar tanggung jawab yang dipikul seorang wali jika ditinjau dari orang yang telah Allah limpahkan urusan-Nya atas seorang wanita. Perwalian itu merupakan sebuah amanah di sisi-Nya yang wajib untuk dijaga dan ditempatkan pada tempatnya, tidak halal bagi seorang wali untuk menahan pernikahannya karena tujuan-tujuan sang wali yang bersifat pribadi atau menikahkannya dengan seseorang yang tidak sekufu dengannya karena tamak terhadap apa yang diberikan kepadanya, maka sesungguhnya ini termasuk dari perbuatan khianat dan Allah telah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui? (QS. Al Anfal : 27)

Dan Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi menginkari nikmat�? (QS. Al Hajj : 38)

Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan diminta pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya (HR. Bukhari Muslim)

Jika kita lihat sebagian orang manakala anak gadisnya dipinang oleh seorang lelaki yang sekufu kemudian ditolak dan ditolak pula yang lainnya. Barangsiapa yang keadaannya seperti itu maka perwaliannya telah cacat. Maka nikahkanlah wanita tersebut dengan wali yang lain dari kerabat yang terdekatnya.

Ayoo Meeniikaah

Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)

Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)

Allah Ta’ala berfirman:
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali-‘Imran: 38)

Allah Ta’ala berfirman:
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Dan nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat wanita.” (QS. An-Nisa`: 3)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhari no. 4675 dan Muslim no. 2487)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)


Penjelasan ringkas:

Menikah sudah menjadi fitrah yang Allah telah fitrahkan seluruh manusia di atasnya. Bahkan karena keutamaan menikah ini, Allah Ta’ala telah menjadikannya sebagai sunnah para nabi seluruhnya, sehingga tidak ada seorangpun Nabi kecuali Allah Ta’ala telah menetapkan bagi mereka istri yang senantiasa mendampingi mereka. Bahkan Allah Ta’ala mengizinkan setiap lelaki untuk menikahi lebih dari seorang wanita selama dia bisa berbuat adil kepada para istrinya.

Di antara keutamaan menikah lainnya adalah bahwa dia merupakan metode terampuh dalam menjaga kemaluan dan kehormatan dan obat termujarab dalam menghilangkan penyakit syahwat. Menikah juga menjadi sebab bertambah banyaknya kaum muslimin, karena dari pernikahan dua orang tua yang muslim akan lahir generasi kaum muslimin berikutnya. Dan sungguh pada hari kiamat Nabi shallallahu alaihi wasallam akan berbangga di hadapan nabi lain karena beliau yang memiliki ummat terbanyak.

Karenanya, siapa saja yang menolak untuk menikah maka sungguh dia telah membenci sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahkan sunnah seluruh nabi sebelum beliau. Dan siapa saja yang membenci sunnah mereka maka sungguh dia tidak berada di atas jalan mereka.

http://al-atsariyyah.com/ayoo-meeniikaah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar