Kamis, Januari 27, 2011

Batasan Kufu Dalam Pernikahan

oleh Kuhanya Ingin Berbagi pada 27 Januari 2011 jam 23:08
Batasan Kufu Dalam Pernikahan
Penulis: Pengasuh Rubrik Muslimah Bertanya


Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com

Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau rahimahullah berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)

“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)

Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun.”

Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.

Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .

Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=101

Istikharah untuk Nikah dan Hal Lainnya

oleh Kuhanya Ingin Berbagi pada 27 Januari 2011 jam 23:20
Istikharah untuk Nikah dan Hal Lainnya

Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-istri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin menikah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:

“Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu kemudian hendaklah mengucapkan:
‘Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Mahamengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agama, kehidupanku, dan kesudahan urusanku, -atau urusan dunia dan akhirat-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.’ 

Dan hendaklah ia menyebutkan hajatnya.”
[HR Al-Bukhari (no. 6382) kitab ad-Da'awwaat; at-Tirmidzi (no. 480) kitab ash-Shalaah; an-Nasa-i (no. 3252) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 1538) kitab ash-Shalaah, Ibnu Majah (no. 1383) kitab Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa; Ahmad (no. 14297)]
Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:

1. Istikharah dilalukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat-shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid atau setelah shalat sunnah lainnya)

2. Do’a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.

3. Boleh mengulang-ngulang istikharah karena ini adalah do’a, dan mengulang-ngulang do’a adalah dianjurkan.

4. Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya.
Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang, bermimpi dengan jelas tentang masalah tersebut, atau merasa bahwa hajatnya telah terpenuhi, atau sebaliknya (berhenti), maka inilah makna istikharah. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulang istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.

5. Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.

6. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta’ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya. Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).” ['Audatul Hijaab (II/397)]
Sumber: ‘Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’ edisi Bahasa Indonesia Panduan Nikah Dari “A” Sampai “Z”, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir (VII/119-121) • Diketik ulang oleh shalihah.com
http://www.humairoh.inef.web.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar